Monday 22 October 2018

Setuju atau Tidak Dengan Islam Nusantara, Mari Kita Bicarakan Dengan Kepala Dingin

Akhir-akhir ini ramai orang memperdebatkan tentang Islam Nusantara. Ada yang mensupportnya karena ingin menjaga nilai-nilai luhur yang sudah ada di Indonesia sejak dulu kala, ada juga yang secara terang-terangan menolak karena menganggap hal ini bisa menodai kemurnian ajaran agama Islam. Saya tidak ingin masuk dalam perdebatan itu lagi. Akan tetapi saya hanya ingin membahas sedikit tentang letak dari nilai-nilai lokal dalam Islam itu sendiri.

Untuk mengawali ini, saya mau mengutip sedikit banyak pendapat dari almarhum Kuntowijoyo. Dalam salah satu bukunya yang terbit sebelum ada banyak keributan mengenai Islam Nusantara dan belum pernah juga buku ini diperdebatkan karena isinya setahu saya. Kuntowijoyo melukiskan bahwa universalitas dan lokalitas dalam Islam itu seperti permainan dalam olahraga. Di manapun, sebuah permainan dan cara menghitung permainan sepakbola itu baku dan ada standartnya atau standart Internasional. Soal gaya atau cara bermain itu berbeda antara pemain Indonesia dan pemain Brazil itu persoalan lain. Di permainan sepakbola, sebuah tim mau main pakai Total Football atau mau pakai Titi Taka dan atau mau pakai gaya bermain Panser Jerman yang menusuk lewat sayap musuh, atau mau digocek dulu kayak permainan Amerika Latin itu terserah. Yang terpenting semua permainan dilakukan dalam koridor aturan yang dibuat oleh FIFA.


Dalam kita berislam juga begitu. Soal sholat misalnya, aturannya kita tahu sudah jelas, meski ada sedikit perbedaan dalam detailnya. Dari Denmark sampa Demak, orang sholat biasanya dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dan baca surat Al-Fatihah di setiap rakaatnya, dan lain sebagainya. Akan tetapi, kata Kuntowijoyo, mau kita sholat menggunakan jubah, sarung, ataupun celana jeans, itu tidak masalah, tak menjadi soal. Yang terpenting menutup aurot. Demikian halnya dengan masjid. Asalkan suci dan sholatnya menghadap kiblat, kita tak perlu pusing dengan atapnya, mau berkubah atau menggunakan atap limasan gaya jawa, itu tak masalah. Aturan di dalam sholat (termasuk soal doa dalam sholat yang berbahasa Arab) adalah hal yang universal yang tidak boleh diubah. Sedangkan dengan bentuk masjid dan sarung atau pakaian adalah kelokalan yang juga bisa berbeda-beda bentuknya.

Sholat dan berhaji adalah dua ibadah yang secara detail harus mencontoh Nabi Muhammad SAW, walaupun termasuk terdapat di dalamnya ada doa-doa. Bahkan dalam berhaji, kita harus meninggalkan pakaian lokal termasuk sarung melayu maupun jubah Arab dan harus memakai pakaian khusus untuk berhaji. Beda hal dengan puasa misalnya, yang juga harus ada ketentuan secara detail, akan tetapi kita juga mempunyai keluasaan untuk menggunakan doa sendiri dengan bahasa daerah sekalipun. Dan kita tahu bahwa Maulidan, Sholawatan, Tahlilan, Adalah Tradisi Islam di Nusantara. Dan saya mengira, baik sahabat-sahabat yang pro atau pun yang kontra Islam Nusantara sangat menyetujui dengan hal-hal di atas. Walaupun ada yang tidak disepakati, marilah kita bicarakan dengan kepala dingin dan keingingan untuk saling mengingatkan. Akan tetapi, bukan dengan hati yang panas dan keinginan untuk saling menjatuhkan satu sama lain.

No comments: